"Bukan orangnyalah yang seharusnya kamu benci, tapi bencilah sifatnya."
-kata orang-
Saya seorang introvert. Dengan 40% diri saya ekstrovert.
Saya tidak punya banyak pilihan ke mana saya harus mengungkapkan suatu hal atau masalah yang saya rasakan. Saya bingung, harus bercerita kepada siapa?
Selama kurang lebih 18 tahun tinggal bersama kedua orang tua, saya masih bisa meluapkan hati saya kepada Ummi, ibu saya, hingga saya dapat menerima masukan, saran, tanggapan, dan kritik yang membangun. Tetapi itu pun kalau sudah terpaksa, kalau saya sudah merasa bahwa saya sudah tidak cukup kuat memendamnya sendiri. Jika masih bisa disimpan sendiri dalam diam, yaa untuk apa saya curahkan sebagian isi hati saya pada orang lain, yang belum tentu mengerti akan posisi yang saya rasakan, masalah yang saya hadapi?
Dan saat ini, ketika sudah berpisah puluhan kilometer dengan orang tua di rumah, pilihan yang saya miliki semakin sempit. Buku harian? Beberapa bulan pertama di dunia perkuliahan saya masih bisa menulisnya, walaupun tidak setiap tujuh hari seminggu. Namun lama kelamaan, tidak sempat. Terlalu mager! -_- Bahkan sekarang sudah lupa di mana buku berwarna biru muda itu saya simpan (baca: sembunyikan).
Dan ya, itu sering terjadi. Ketika berhasil meluapkan pegal-pegal di hati kepada seorang teman misalnya, kemudian setelahnya saya merasa seharusnya saya tidak usah bercerita. Tulis saja di buku harian (walaupun pada akhirnya apa yang saya tulis di buku harian tidak tuntas). Akhirnya saya pun menjadi cuek pada berbagai keadaan, mudah melupakan.
Yah walaupun pada kasus-kasus tertentu diam-diam di dalam hati saya tumpukan kasus itu semakin menggunung seperti berkas-berkas laporan dan data di atas meja seorang hakim tinggi. Menunggu diambil keputusan. Mau dibawa ke mana? Dihilangkan saja dari hati, atau diselesaikan hingga tuntas? Atau malah dibiarkan saja sampai akhirnya mencapai suatu titik di mana ia akan meledak?
Pilihan terakhirlah yang sepertinya paling sering saya ambil. Dibiarkan saja sampai nanti meledak sendiri.
Oya, dan saya perasa. Individual trait saya cenderung 62% feeling...
Suatu malam saya mendapat tamu. Salah seorang sahabat saya datang kepada saya dan ia -pada akhirnya- meluapkan salah satu hal yang paling membuat hatinya gundah hampir selama hidupnya. Dan dari apa yang ia tuturkan, saya benar-benar bisa merasakan beban yang dia curahkan. Selama hampir dua puluh tahun mengenalnya, saya tahu bahwa ia memiliki masalah itu. Tetapi tidak pernah secuil pun saya berani menanyakan padanya. Saya mengerti bagaimana seseorang membutuhkan privasi. Saya hanya menunggu saja, bukan juga berharap ia akan bercerita pada saya. Saya tahu, suatu hari ia pasti butuh membaginya dengan saya.
Dan akhirnya malam itu ia bercucuran air mata. Saya pun tidak dapat membendung tangisan saya. Hal yang diluapkannya merupakan salah satu weakest point saya juga, family thing. Sambil mendengar ia bercerita, kami terus terisak. Sampai rasanya air mata ini hampir kering ._.
Namun di satu sisi, entah mengapa saya merasa bahwa air mata saya bukan sepenuhnya disebabkan oleh apa yang dituturkan sahabat saya itu. Karena bahkan sampai ia selesai dengan ceritanya dan dapat tersenyum simpul, saya masih terus menangis. Sampai sesenggukan. Saya jelas sangat mengerti apa yang dirasakan oleh sahabat saya ketika ia menceritakan masalahnya, tetapi saya pun merasa bahwa apa yang saya rasakan campur aduk.
Memang selama satu minggu ini rasanya ada hal yang menumpuk di dalam diri saya. Yang entah mau diluapkan ke mana. Yang saya sendiri juga tidak dapat mengekspresikannya. Satu minggu ini mungkin menjadi salah satu hampir-titik-puncak dari beberapa kondisi dan kejadian yang saya alami. Ada beberapa keadaan, saat saya sendirian di dalam kamar kost misalnya, yang membuat saya tiba-tiba ingin menangis, tanpa tahu pasti hal yang mana yang menyebabkannya. Walaupun pada akhirnya saya alihkan dengan melakukan hal-hal lain agar tangisan tidak keluar.
Jadi malam itu adalah satu sarana bagaimana tumpukan unek-unek di hati yang sudah tertahan hampir meledak selama satu minggu itu keluar.
Akan tetapi, bahkan kepada sahabat saya yang sudah membagi ceritanya malam itu pun saya tetap tidak dapat menceritakan apa yang membuat saya menangis sesenggukan.
Mungkin karena hal-hal ini bukanlah sesuatu yang related dengannya. Saya tidak mau menambah beban pikiran orang lain. Yah, walaupun orang lain bisa saja saya butuhkan hanya untuk menjadi pendengar. Mungkin lebih tepatnya saya tidak ingin orang lain tahu bahwa saya punya masalah.
Karena bahkan ketika saya terlanjur -tidak sengaja- mengeluarkan emosi dari tumpukan pegal-pegal di hati saya di hadapan orang lain, teman-teman saya misalnya, hal itu malah dapat membawa ke suatu hal yang lebih besar, masalah lain yang dapat membuat saya semakin tidak mengerti bagaimana saya akan mendapatkan cara penyelesaiannya. Ditambah ketika mereka pada akhirnya ikut campur dalam masalah saya....
Saya paham, pasti teman-teman saya yang mendengar curahan hati saya tidak ingin saya berlama-lama terjerembap dalam masalah. Mereka pasti ingin membantu saya terbebas...
Namun di dalam diri saya, selalu ada bagian yang meminta saya untuk cenderung tidak terlalu berat memikirkan masalah saya, let it flow, seiring dengan saya mencoba mencari alternatif-alternatif jalan keluar.
Dan saya kurang suka ketika ada yang masuk dan ikut campur di dalam hal-hal yang sedang saya hadapi,
hal-hal yang sedang saya coba untuk menata ulang supaya lebih ideal.
Karena hal itu dapat menambah rumit masalah yang ada.
Justru hal seperti itu akan menghancurkan solusi yang sedang saya bangun.
Dan saya pun harus memulainya dari awal lagi.
Mohon maaf jika memang terkesan lebay
dan labil
tapi sekali-kali ingin menulis apa yang sedang saya rasakan
And I just still can't get it
P.S. lalu sekarang ketika membaca postingan ini maka saya merasa 40% sisi ekstrovert diri saya mulai mendesak keluar, walau hanya lewat tulisan dunia maya
Komentar
Posting Komentar