Kami memanggilnya "Emak". Seorang nenek yang tinggal di sebelah rumah kami hingga beberapa tahun yang lalu. Tetangga sekitar memanggilnya dengan sebutan "Mak Ganggong".
Emak sudah menjadi tetangga kami sejak lama, bahkan sejak Abi kecil atau malah lebih lama lagi sebelumnya. Emak tinggal dengan dua orang putranya yang hampir seumuran Abi dan juga teman main Abi saat kecil. Aku memanggil mereka Om Cuncang dan Om Bibing.
Sejak kecil, sebelum masuk TK, karena Ummi dan Abi bekerja sejak pagi enam hari dalam seminggu, meski ada seorang mbak pengasuh, aku lebih senang bermain ke rumah Emak. Ada tv tabung besar 21 inch yang ketika menampilkan wajah seseorang secara close-up pasti lebih besar dari wajahku. Memberi kepuasan yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan tv 14 inch yang ada di rumah. Selain itu, bagian depan rumah emak adalah sebuah warung kelontong kecil. Ada banyak jajanan dan mainan seperti balon tiup yang tentunya sangat menarik bagi seorang anak kecil. Dan Emak seringkali memberikan secara cuma-cuma padaku.
Bisa kuingat hampir setiap hari aku bermain ke rumah Emak. Salah satu alasannya karena memang jarak rumah kami yang sangat dekat. Antar dinding rumah kurang lebih hanya satu meter. Dan ada jendela di masing-masing dinding rumah yang saling berhadap-hadapan. Bisa dibayangkan betapa dekat jarak privasi antar rumah kami. Terkadang aku suka usil memanggil-manggil Emak atau Om Bibing atau Om Cuncang dari jendela. Atau bergantian Emak atau kedua om yang memanggil-manggilku, dari jendela juga.
"Eemaaak," panggilku dengan nada memanggil, lima notasi, khas anak-anak.
"Saazaaa, lagi apa yaaa?" sahut Emak dari seberang.
Saking dekatnya dengan Emak, sampai-sampai seringkali aku dimandikannya di sore hari. Dan saking asyiknya main di rumah Emak, seringkali Ummi dan Abi harus memaksaku pulang dan berakhir dengan tangisanku. Kalau sudah begitu, jika sudah berada di dalam rumah, pasti akan terdengar suara Emak dari jendela, "Saza jangan nangis, besok bisa main lagi..."
Pernah suatu kali aku sangat rewel tidak mau pulang sampai-sampai Ummi dan Abi, berdua, harus menjemputku dan menggendongku pulang. Dan sesampainya di rumah aku dimasukkan ke dalam kamar dan dikunci dari luar. Yah, entah benar-benar dikunci atau hanya dipegangi saja pintunya oleh Ummi atau Abi, entahlah aku masih kecil saat itu. Yang pasti itu adalah salah satu pengalaman "menyeramkan" pertama bagiku sebagai seorang anak, haha. Bisa kudengar suara Emak memohon maaf dan "meminta ampun" bagiku pada Ummi dari jendela di luar. Aku hanya bisa menangis dan berteriak-teriak meminta dibukakan pintu. Apa yang terjadi pada akhirnya sudah lupa. Mungkin aku tertidur di kasur karena terlalu capek menangis kencang.
Salah satu hal yang selalu teringat adalah, setiap imlek datang, Emak pasti akan mengantarkan sepiring kue keranjang ke rumah kami. Kue keranjang yang sudah digoreng dengan telur dan rasanya sangat lezat. Kue keranjang favoritku.
Ummi pun akan mengantarkan sepiring masakan untuk Emak setiap hari raya. Opor ayam di hari Idul Fitri, dan rendang daging sapi di hari Idul Adha.
Sejak kecil itu pula aku menyadari ada yang berbeda dari Emak dan keluarga kecilnya jika dibandingkan dengan keluargaku, selain imlek (dan kue keranjangnya) yang mereka rayakan setiap tahunnya.
Setiap menonton tv besar di rumah emak, aku bisa memperhatikan ada salib yang menggantung di dinding triplek di atasnya. Om Cuncang yang memiliki nama asli ChunXiang juga punya mata sipit yang menarik perhatian, walau Emak dan Om Bibing tidak. Terkadang di hari Minggu aku ikut mengantar Emak naik becak Pak Samsuri atau Pak Darus ke gereja di tengah kota. Hanya mengantar sampai Emak turun dari becak di pinggir jalan depan gereja, setelah itu aku ikut kembali pulang diantar becak itu.
Aku pasti bertanya-tanya pada Ummi kenapa Emak berbeda. Emak sering memuji jilbab yang aku kenakan setiap bepergian sejak bersekolah TK. Tapi bolehkah aku memberi Emak jilbab seperti yang dipakai olehku dan Ummi? Atau sarung dan peci untuk Om Cuncang dan Om Bibing seperti yang dipunyai Abi dan Mbah Kakung? Ummi selalu punya jawaban yang bisa menjelaskan pada akal sederhanaku yang masih anak-anak itu.
Segala perbedaan yang aku rasakan itu tidak membuatku berhenti berinteraksi dengan Emak, atau dengan Om Cuncang dan Om Bibing. Yang mengubah polanya justru ketika aku mulai masuk SD.
Aku masih biasa menyapa Emak yang sudah siap dengan warungnya setiap sebelum berangkat ke sekolah ataupun sepulang dari sekolah. Namun jam sekolah yang lebih lama dan lebih padat dibandingkan dengan TK membuatku lebih jarang main ke rumah Emak. Selain itu aku pun sudah semakin dekat dengan Rizka, tetanggaku yang sudah jadi teman sejak TK dengan becak antar-jemput dan sekolah yang sama, sehingga bermain sudah tidak lagi bersama Emak.
"Saza sekarang udah jarang main ke tempat Emak ya..." kata Emak suatu hari lewat jendela. Begitu juga diucapkan oleh Om Cuncang atau Om Bibing. Aku hanya bisa menjawab dengan 'hehe' dan kembali mengerjakan PRku.
Ketika menginjak kelas 5 dan mulai menaiki sepeda ke sekolah, aku masih ingat Om Bibing memberiku selamat.
"Wah selamat ya, Saza. Hebat, udah berani naik sepeda ke sekolah sekarang!"
Di akhir kelas 5 itulah mulai kudengar Emak dan Om Bibing menawarkan rumah mereka untuk dijual kepada Ummi dan Abi. Saat itu Om Cuncang sudah menikah dan pindah tinggal di Cilacap bersama istrinya. Dengan harga tanah di sepanjang jalan depan rumah yang sudah mulai melonjak tinggi, tentu bukan kemampuan Ummi dan Abi membeli tanah dan bangunan rumah Emak. Pada akhirnya salah satu pakdeku dari Ummi yang membelinya. Setelah itu Emak dan Om Bibing pindah rumah, sekitar 2 kilometer lebih dari rumah kami. Sejak saat itu pula semakin jarang kami berinteraksi.
Om Cuncang yang lebih sering main ke rumah kami. Setiap pulang dari Cilacap, entah sendiri atau bersama istrinya, ia pasti datang berkunjung. Membawa kerupuk ikan tenggiri yang selalu jadi rebutan aku dan adikku. Sesekali pula aku berkunjung ke rumah Emak, atau sekedar mengobrol lewat telepon, menanyakan kabar.
Saat aku SMP, Emak mulai sakit-sakitan. Om Bibing yang mengabari kami dengan datang ke rumah. Masih kuingat saat aku menjenguk Emak di rumahnya. Emak yang terbaring lemah di ranjang kamar tidurnya, tersenyum menyambutku.
"Saza udah makin besar ya. Udah tinggi sekarang. Jadi anak yang pinter, harus nurut sama Ummi sama Abi," kata Emak sambil tersenyum lemah, menggenggam tanganku dengan kedua tangannya yang sudah tampak semakin banyak keriput dan terasa sangat kurus.
Lalu beberapa lama kemudian kabar duka datang. Saat itu aku baru pulang dari sekolah jam 4 sore ketika Abi menyambutku di pintu rumah dan menyampaikan beritanya. Aku tak kuasa menahan tangis dan menumpahkannya di pelukan Abi. Setelah tangisku tenang, Abi pun mengajakku untuk melayat. Aku agak ragu. Tapi kata Ummi tidak apa-apa, hanya datang ke tempat persemayaman terakhir Emak sebelum jenazahnya dikremasi esok hari.
Aku dan Abi sampai ke rumah duka di Gang Mangga sore itu juga. Gedung itu sering aku lewati dulu setiap kali pulang pergi mengantar Emak ke gereja yang letaknya tak jauh dari sana. Setelah memarkir motor di halaman gedung, kami masuk dan disambut oleh Om Bibing dan beberapa orang kerabat Emak. Bisa kulihat mata Om Bibing yang sembab walau wajahnya sudah tersenyum tenang. Ia mengantarkan kami ke dekat peti jenazah, tempat Emak berbaring. Kulongokkan kepala melihat tubuh Emak yang sudah didandani rapi di dalam peti yang ditutupi kain putih tembus pandang di atasnya.
Aku hanya terdiam, tidak bisa mengekspresikan apa pun. Sedih, tapi rasanya tidak mungkin aku menangis di sana. Setelah itu kami duduk di kursi yang tersedia bagi pelayat. Om Bibing mengajak kami mengobrol sambil menyajikan air mineral. Om Cuncang masih dalam perjalanan dari Cilacap sehingga kami tidak bisa bertemu. Menjelang magrib kami pun pamit dan pulang ke rumah. Tak lupa menitip salam untuk Om Cuncang.
Sejak saat itu, komunikasi kami dengan Om Cuncang dan Om Bibing pun semakin jarang. Walau hampir sekali dalam setahun Om Cuncang pasti pulang dan berkunjung ke rumah kami. Tapi seringkali ia berkunjung ketika tidak ada orang di rumah dan hanya bisa tersampaikan salamnya serta kerupuk tenggiri yang masih selalu ia bawakan. Om Bibing, walau masih tinggal dalam satu kota yang sama pun, lebih jarang lagi berinteraksi.
Namun di masa liburan awal tahun 2018 lalu, kami kedatangan tamu. Om Bibing datang ke rumah bersama seorang perempuan.
"Ini Om mau ngenalin istrinya Om. Bulan lalu kami menikah tapi cuma sederhana, kecil-kecilan, jadi nggak ngundang-ngundang banyak orang."
Hanya aku dan adikku yang ada di rumah dan bisa menemui mereka saat itu karena Abi dan Ummi masih bekerja. Sorenya kami bercerita tentang kedatangan Om Bibing dan istrinya yang ia perkenalkan. Ummi dan Abi pun menyambutnya dengan senang, turut berbahagia.
Beberapa hari kemudian Abi bercerita bahwa telah berkunjung ke rumah Om Bibing sepulang kantor. Tak lupa juga membawa bingkisan "selamat" bagi pengantin baru itu. Abi juga sudah bertemu istri Om Bibing dan bertukar kontak messenger untuk mempermudah komunikasi ke depannya, baik dengan Om Bibing maupun Om Cuncang, karena selama ini hanya bergantung dengan nomor hp.
Malamnya Abi mendapat telepon. Setelah selesai dengan obrolan di telepon, aku pun bertanya, "Siapa, Bi?"
"Om Cuncang, ngobrol sebentar terus Abi cerita udah ketemu sama istrinya Om Bibing."
Aku pun tersenyum mendengarnya.
-----
Sumber Foto :
- Frédérique Gélinas on Unsplash
Komentar
Posting Komentar