Rumah, Lingkaran Sosial, dan Hari Esok (2)


(sambungan dari part 1)

Beberapa bulan setelah pernyataan niat Ummi dan Abi untuk membeli tanah di sebuah perumahan baru yang akan dibangun, tiba-tiba kabar lain datang.


"Kak, Ummi Abi mau renovasi rumah. Bagian belakang nanti ditambah lantai duanya buat kamar adek dan ruang santai."

"Loh, katanya mau pindah rumah? Kok malah renovasi?"

"Yaa kan nanti bisa dikontrakin atau gimana."
...

Aku tidak bisa mencegah apa pun untuk kondisi seperti itu. Sebenarnya sudah lama juga Ummi dan Abi berniat untuk merenovasi sedikit rumah kecil kami, di bagian belakang, memperluas lantai dua. Menambah kamar untuk adikku sehingga kami tidak akan berbagi kamar lagi. Awalnya aku masih belum bisa setuju. Jika akan membeli rumah baru, kenapa uangnya malah dipakai untuk merenovasi rumah yang lama?

Akhirnya renovasi rumah pun mulai dilakukan. Separuh belakang bagian rumah dibangun lantai duanya untuk satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan sedikit ruang untuk bersantai. Perkembangan renovasi itu selalu dikabarkan padaku lewat grup chat keluarga kami, yang isinya hanya aku, Ummi, dan Abi.

Di satu kesempatan pulang di semester 5, aku pun merasakan repotnya ketika sebagian rumah yang memiliki peranan penting yaitu dapur, ruang makan, dan kamar mandi dibongkar dan kami harus mengungsi sementara ke rumah sebelah. Di sisi lain, Ummi dan Abi tetap sibuk dengan aktivitas masing-masing yang setiap Senin sampai Jumat penuh sejak pagi hingga sore. Bahkan saat weekend pun Ummi dan Abi jarang di rumah karena agenda lain-lain.

Kemudian di semester 5 itu pula aku mulai mendapat mata kuliah yang lebih dalam mempelajari mengenai masyarakat dan kehidupan di dalamnya. Sisi sosial mulai lebih banyak dikuak dalam memahami perkembangan serta perencanaan kota dan wilayah. Aku pun mulai menyaring nilai-nilai yang diajarkan secara makro dan mikro, kemudian mencoba merefleksikannya kepada keluargaku, terutama Abi.

Selain bekerja di pemda kabupaten, di lingkungan rumah pun Abi memiliki banyak keterlibatan dalam masyarakat. Sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu, Abi dipercayai sebagai salah satu bagian dari komite sebuah yayasan pendidikan islam yang sekolahnya terletak di lingkungan belakang rumahku. Sejak menjabat itu pula mulai didirikan Madrasah Diniyah yang menjadi tempat untuk anak-anak belajar agama dan mengaji. Tak hanya sampai di situ, di lingkungan sekolah milik yayasan itu juga terdapat masjid besar milik pedukuhan. Abi diangkat menjadi ketua ta'mir, yang menjadikan beberapa tahun terakhir di setiap momen sholat 'id, aku dan adikku selalu bercanda setiap mendengar suara Abi di pengeras suara untuk menyampaikan informasi sebelum khutbah. 

Abi selalu sibuk pula setiap ada acara-acara di lingkungan rumah kami. Pernikahan tetangga, tasyakuran, lelayu, hingga peristiwa-peristiwa mendadak lainnya, semuanya Abi terlibat ikut mengurusi. Sudah tidak heran lagi semakin ke sini, setiap ada kesempatan pulang ke rumah pasti Abi jarang di rumah. Kalau sudah di rumah pun biasanya Abi yang sudah dalam kondisi capek, sore setelah ashar sudah tinggal tiduran di kamar atau di risban depan televisi, walaupun tetap saja masih suka meluangkan waktu untuk bercengkrama.

Kemudian sejak Januari lalu dipindahtugaskan tidak lagi mengurusi satu kecamatan, Abi diberi amanah di jajaran pemerintah kabupaten. Kantor tempat Abi bekerja pun sekarang lebih dekat yaitu di pusat kota yang jaraknya kurang lebih hanya satu hingga dua kilometer dari rumah. Meski begitu kesibukan menjadi lebih bertambah dengan posisi Abi yang mengharuskan untuk (hampir) selalu mendampingi Bupati di berbagai agenda kegiatan. Mobilitas pun harus tinggi dan serba tanggap.


Abi sering banget jadi yang nyambut dan atur-aturi di acara-acara,
pake bahasa jawa alus krama inggil yang nggak bisa kutiru haha

Kalau Ummi?
Ummi yang mengajar di salah satu SMA negeri di kecamatan sebelah yang jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari rumah itu sudah 23 tahun lebih bermobilitas ke sana. Rasanya sudah nyaman, katanya. Untuk kegiatan di lingkungan rumah pun, sejak terakhir menjadi Bu RW saat aku TK atau awal masuk SD, rasanya sudah tidak terlalu aktif lagi. 

Selain sibuk dengan segala macam kegiatan di sekolah, di sebuah badan amil zakat, ataupun di lingkaran aktivitas dakwah, Ummi juga harus mendampingi Abi dalam lingkup pemerintahan di berbagai kesempatan. Apalagi saat Abi mengemban tugas di kecamatan, Ummi juga mau tak mau harus aktif mengurus kegiatan ibu-ibu. Seringkali jatuh sakit karena kecapekan, membuat Ummi tidak terlalu terlihat di lingkungan rumah secara luas seperti Abi. Namun bukan berarti sama sekali tidak bersosialisasi dengan masyarakat. Ummi tetap ikut dalam kegiatan yang lingkupnya lebih kecil di sekitar rumah.

.

Dengan melihat berbagai aktivitas sosial Abi dan Ummi, aku pun mulai berpikir dan akhirnya sampai pada satu pernyataan, tidak usahlah kami pindah dari rumah yang saat ini kami tinggali. Dengan segala hal yang melingkupinya, walau harus terus berhadapan dengan ramainya aktivitas, kendaraan, dan sebagainya yang melintas di jalan depan rumah, tetap saja rumah inilah yang telah turun-temurun berada di lingkaran keluarga kami. 

Rumah ini yang telah membesarkanku, yang juga telah membesarkan Abi hingga menjadi bagian dari penggerak di masyarakat. Karena jika semua kehidupan sosial itu harus ditinggalkan, rasanya akan sangat disayangkan. Apalagi, bisa dikatakan, ini adalah tahun-tahun emas bagi Abi sebagai aktivis sosial masyarakat, baik di lingkungan rumah maupun dalam karir di pemerintahan kabupaten, dengan ikatan sosial yang telah terjalin kuat.

Masa iya, harus meninggalkan segala hal di atas hanya demi pindah rumah?
Pikirku lagi, mungkin memang tak apalah hingga menginjak hari tua nanti Abi dan Ummi tetap tinggal di rumah ini. Karena hari esok yang dimiliki tidak hanya sekedar tentang kenyamanan fisik, tetapi juga sosial. Dengan lingkungan seperti apa hari-hari nanti dihabiskan.

Masalah tata ruang dan spasial tentang kesesuaian rumah yang berada di pinggir jalan utama itu? Ah, sampai saat ini tidak ada peraturan yang jelas melarang juga, belum jadi masalah hehe. Kecuali nanti memang ada faktor pendorong yang lebih kuat, bisa menjadi pertimbangan di kemudian hari.

.

-Epilog-


"Mi, Ummi Abi nggak jadi beli rumah di sana itu, kan? hehe"
"Nggak lah, di pelosok ndesa banget itu. Kasian Abimu nanti, hahaha."



-----

Photo by André Robillard on Unsplash

Komentar